Blogger Template by Blogcrowds.

ada yang benci dirinya
ada yang butuh dirinya
ada yang suka diajar dia
ada pula yang bilang, betapa killer dirinya

ini hidup si pengajar para siswa
bekerja bertaruh seluruh jiwa raga
bibir senyum tapi kadang bisa galak juga
kepada setiap mahasiswa yg datang
dosakah yg dia kerjakan
sucikah yg dia lakukan
kadang dia tersenyum dalam tangis
kadang dia menangis di dalam senyuman

oh apa yg terjadi, terjadilah
yg dia mau muridnya pintar semua
oh apa yg terjadi, terjadilah
yg dia mau murid dapat A semua...


(otak-atik lagu Kupu-kupu Malam-nya Titiek Puspa)

Now that i become a teacher i know how hard it is to be one haha..

Jawa

Banyak yang menganggap sekarang ini wong Jawa wis ilang jawane, orang Jawa sudah kehilangan kejawaannya. Atau mungkin definisi orang Jawa itu sendiri yang telah mengalami pergeseran seiring berjalannya waktu. Kalau menurut Frans Magnis-Suseno, yang dimaksud orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa (http://www.karatonsurakarta.com/orangjawa.html). Tentunya kalau membahas filosofi orang Jawa, what makes a javanese a javanese akan lebih luas lagi kriterianya.

Kalau kriteria orang Jawa harus bisa berbahasa Jawa, kenapa saat ini banyak orang keturunan Jawa yang sudah tidak bisa berbahasa Jawa. Jangankan basa jawa krama, jawa ngoko pun ada yang tidak bisa. Banyak orang tua yang cenderung mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu kepada anaknya, kadang karena orang tuanya sendiri tidak bisa berbahasa Jawa. Bahasa Jawa diperoleh ketika berinteraksi dengan teman-teman di luar rumah. Bahasa krama pun tidak terlalu dikuasai karena dianggap sulit dan repot, maka ketika orang yang lebih muda berbicara kepada orang tua, mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia atau malah menggunakan jawa ngoko. Bahkan bahasa jawa dianggap feodal. Kalau tidak bisa menggunakan semua tingkat tutur bahasa Jawa itu, apakah seseorang sudah kehilangan kejawaannya?

Kalau ada orang Jawa yang kehilangan rasa, membiarkan dirinya dikendalikan nafsu dan pamrih, kasar, dalam filosofi Jawa orang itu dianggap "belum jawa" (durung jawa) (Magnis-Suseno, 1997:155). Sekarang banyak sekali orang Jawa yang memiliki sifat sebagaimana digambarkan demikian. Jadi apakah orang itu orang Jawa yang belum jawa, atau sudah kehilangan kejawaannya? Parahnya, kadang orang yang bukan keturunan suku Jawa malah lebih njawani daripada orang asli Jawa itu sendiri.

Menurut orang Jawa, terutama priyayi, memiliki istri lebih dari satu itu biasa. Wanita jawa seharusnya menurut pada suami jika suaminya ingin memiliki selir. Kalau Anda membaca novel Linus Suryadi yang berjudul Pengakuan Pariyem, wah lebih baik saya dianggap bukan perempuan Jawa kalau rela bernasib seperti Pariyem di novel itu (:p).

Mungkin orang Jawa yang paling jawa adalah pengikut saminisme. Mereka hanya mau berbahasa Jawa, walaupun bahasa Jawa ngoko, tapi itu malah menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang egaliter dan tidak membeda-bedakan sesama. Mereka juga antipoligami, karena berprinsip cukup satu suami/istri untuk selamanya.

Kalau Anda, masih jawa atau tidak?

There are some words in English that are pronounced differently by different speakers. For example, some speakers pronounce the word economics with an initial [ɛ] - [ˌɛkəˈnɒmɪks] and others with an initial [i] - [ˌinɒmɪks]. In this word, [ɛ] and [i] are said to be in free variation. Free variation can also be found when you hear British English speaker says the word tomato [təˈmeɪtoʊ] ,while North American speaker says [ˈmɑtoʊ]. Another example is the glottal stop in the word button. You might hear one speaker pronounces it [bʌtn] while other speaker pronounces [bʌ?n].


In linguistics, free variation is the phenomenon of two (or more) sounds or forms appearing in the same environment without a change in meaning and without being considered incorrect by native speakers. However, as for the case in the sounds [i] and [ɛ], we cannot substitute those two sounds in all words. Did you beat the drum? does not mean the same thing as Did you bet the drum?.

Sudahkan Anda mencontreng hari ini?

Contreng. Kata ini sedang merasakan masa kejayaannya di masa-masa pemilihan umum di negeri ini. Berapa kali kata ini disebutkan dalam sehari, dari masa sebelum kampanye hingga sesudah pemilu. Dulu kita tidak terlalu sering atau bahkan jarang sekali mendengar kata ini, saya sendiri juga tidak terlalu akrab dengan kata ini. Umumnya saya memakai atau mendengar kata "centang". Kata yang dipakai untuk mengacu pada simbol yang terlihat seperti huruf V itu.

Saya sudah memeriksa keberadaan kata "contreng" di Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, terbitan Balai Pustaka tahun 2002. Tidak ada kata "contreng" di sana. Tapi dalam penggunaannya ternyata kata tersebut memang ada, terbukti sekarang banyak orang yang tahu dan menggunakan kata tersebut. Pada saat belum banyak digunakan seperti sekarang ini mungkin kata "contreng" bukanlah istilah yang baku, atau hanya dikenal oleh sebagian orang saja. Tetapi saat ini, seiring banyak digunakannya istilah tersebut oleh masyarakat luas dan elite politik serta pejabat, tampaknya kata "contreng" mulai mendapatkan eksistensi dan pengakuan dalam bahasa Indonesia.

Kalau penggunaan kata "contreng" semakin meluas dan dapat bertahan, maka bisa dimungkinkan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru akan mencantumkan "contreng" sebagai kosakata baru dalam salah satu entrinya.

Eh saya belum memeriksa Kamus Besar yang edisi 4 ding...

IPA

Tahukah Anda IPA, yang kepanjangannya International Phonetic Alphabet? IPA adalah sistem penulisan secara fonetis yang digunakan sebagai standar representasi bunyi bahasa. Dalam ilmu linguistik, IPA ini biasanya masuk dalam ranah fonetik dan fonologi. Kalaupun Anda tidak pernah belajar linguistik, tentunya paling tidak Anda pernah membuka kamus bahasa Inggris. Di sana biasanya terdapat cara pengucapan setelah entri kata. Nah, cara pengucapan atau simbol bunyi itu dituliskan dalam transkripsi fonetis. Itulah simbol-simbol dalam IPA.

Anda bisa mentranskripsikan bahasa apa pun dengan simbol IPA. Selain digunakan dalam kamus, IPA biasa digunakan untuk mentranskripsikan bunyi bahasa yang ditulis dalam huruf selain huruf latin yang biasa kita gunakan. Pernahkan Anda melihat film The Gods Must Be Crazy yang dimainkan Nixau? Nixau yang dari suku Bushman di Afrika itu menggunakan bahasa yang terdengar seperti klik-klik saja. Bunyi semacam itu dapat dituliskan dalam transkripsi fonetis sehingga bisa dibaca/diucapkan, maupun diteliti sistem bahasanya seperti yang biasa dilakukan para ahli fonetik-fonologi.

Teman kuliah saya malah kadang menggunakan transkripsi fonetis ketika sedang bergosip, haha. Mungkin bisa juga untuk memberi atau meminta contekan ketika ujian, asal yang mengawasi ujian bukan dosen linguistik saja, hahaha (eh, yang ini jangan ditiru).

Menurut Saeed (2000:125) modalitas adalah istilah yang mengacu pada peranti yang memungkinkan penutur untuk mengungkapkan derajat/tingkatan komitmen atau kepercayaan terhadap suatu proposisi. Sementara menurut Nunan (1993:121), modalitas adalah dimensi tuturan yang membuat penutur atau penulis mengungkapkan sikapnya terhadap proposisi maupun daya ilokusi dari suatu tuturan. Dapat disimpulkan bahwa modalitas digunakan untuk mengungkapkan sikap, komitmen, atau kepercayaan terhadap suatu hal. Sebagai tambahan, istilah modalitas (modality) digunakan untuk mengacu pada fungsi, sedangkan mood mengacu pada bentuk gramatikanya (Palmer, 1981:152).

Modalitas biasanya diungkapkan melalui modal verb seperti pada kalimat-kalimat berikut:

* Menunjukkan sikap terhadap suatu proposisi:

Proposisi: The boy did it.
Kalimat tersebut dapat diungkapkan dengan modalitas (modalized statement) seperti berikut: The boy may have done it. They say the boy did it. The boy must have done it. Obviously, the boy did it. The boy undoubtedly did it. I’m sure the boy did it.

* Menunjukkan sikap terhadap daya ilokusi:

Direktif: Clean the car.
Modalized statement: I’d suggest you clean the car. You might like to clean the car. How about cleaning the car? I’d be grateful if you’d clean the car. Can you clean the car this morning?

Jenis-jenis modalitas dapat dikelompokkan menjadi berikut:
1. Epistemik
Epistemik merupakan jenis modalitas yang mengungkapkan tingkat komitmen penutur terhadap kebenaran yang dikatakannya (Palmer, 1981:153). Misalnya:
You can drive this car.
Seseorang dapat menggunakan kalimat tersebut untuk mengungkapkan hal berikut:
It is possible for you to drive this car.
You have my permission to drive this car.
Modal epistemik dapat juga digunakan untuk menyatakan interpretasi deontik, seperti pada contoh berikut (Saeed, 2000:127):
You could have told me you were coming.
Pada contoh tersebut, kemungkinan mengatakan sesuatu digunakan untuk mengimplikasikan kewajiban yang tidak dilakukan, sehingga membuat kalimat di atas bermakna teguran.

2. Deontik
Deontik menunjukkan sikap penutur terhadap faktor sosial seperti kewajiban (obligation), tanggung jawab (responsibility), dan izin (permission) (Saeed, 2000:126). Misalnya:
Mengungkapkan hal yang wajib dilakukan:
• You must take these books back.
• You should take these books back
• You need to take these books back.
• You ought to take these books back.
Atau mengungkapkan hal yang boleh dilakukan:
• You can leave them there.
• You could leave them there.
• You might leave them there.

Jadi dapat dikatakan bahwa status dan tingkat formalitas hubungan pembicara dapat memengaruhi pemilihan penggunaan modalitas. Jika misalnya pembicara mengatakan ”You can go now,” maka pembicara berada pada posisi yang lebih tinggi daripada orang yang diajak bicara.

3. Dinamik
Tidak seperti deontik and epistemik, modalitas dinamik tidak mengacu pada penuturnya. Dinamik tidak mengekspresikan pendapat penutur, dan penutur juga tidak memengaruhi situasi. Misalnya pada kalimat: Juan can play the guitar. Pada kalimat tersebut, penutur menggambarkan situasi faktual atau sebenarnya mengenai subjek kalimat tersebut. Jadi, can mengacu pada kemampuan Juan bermain gitar. Can tidak mengacu pada keyakinan penuturnya. Inilah yang membedakan modalitas dinamik dari modalitas deontik dan epistemik (Williams, http://www.geocities.com/margowilliams2002/modals).

4. Alethik
Cann (1993:270-271) mengemukakan jenis modalitas yang disebut alethik (dari bahasa Yunani aletheia yang berarti kebenaran). Cann menggunakan dasar logical necessity dan possibility, yaitu yang berhubungan dengan kebenaran (truth) atau ketidakbenaran (falsity) suatu sistem yang logis. Kita bisa mengatakan bahwa suatu rumusan itu selalu benar (atau salah) secara logis (atau alethis), jika sistem logika yang digunakan memastikan bahwa rumusan modal harus benar (atau salah). Sebaliknya, rumusan yang mungkin benar (atau salah) adalah rumusan yang tidak diartikan selalu benar (atau salah) oleh logika. Misalnya pada kalimat berikut:
1. Every proposition is necessarily either true or false, but not both.
2. Bertie possibly knows that the Morning Star is the Evening Star.
3. Every proposition must be either true or false, but not both.
4. Bertie may know the Morning Star is the Evening Star.
5. Alfred is a bachelor, thus he must be unmarried.

Jadi dapat dikatakan, modalitas alethik berkaitan dengan tingkat kepastian suatu proposisi.
Modalitas juga berhubungan dengan conditional sentence (Saeed, 2000:128), misalnya pada kalimat berikut:
If I were rich, I would be living somewhere hotter.
If you should go to Paris, stay near the river.

Newer Posts Older Posts Home