It was put on a church wall. |
Fishing? |
It just looks cool to me... |
They also have tempe in Sydney... |
If you speak Javanese you know what's funny with this sign. |
Labels: English Posts, Rambling, Vacation
Bahasa merupakan salah satu cara untuk mempertahankan suatu kebudayaan. Melalui bahasa, budaya dan pengetahuan dapat diwariskan ke generasi berikutnya. Sebagai contoh, orang tua yang mengajarkan bahasa ibu kepada anaknya. Pada umumnya orang tua mengajarkan bahasa daerah kepada anaknya, misalnya orang tua saya mengajarkan bahasa Jawa kepada saya, jadi bahasa ibu saya adalah bahasa Jawa.
Fenomena yang terjadi sekarang ini adalah, menurut pengamatan saya setidaknya yang saya lihat di kampung saya, banyak orang tua yang cenderung mengajarkan bahasa Indonesia ataupun bahasa asing sebagai bahasa ibu anaknya. Ini terutama orang tua yang masih berusia muda. Saya berpikir ini dikarenakan mereka tidak memiliki kompetensi dan performa (competence and performance) bahasa Jawa yang kurang baik, sehingga mereka lebih suka mengajarkan bahasa Indonesia. Mungkin juga bahasa Jawa dianggap sulit (karena adanya undha-usuk) dan bahkan ndeso (kampungan) dan tidak diperlukan di dunia internasional seperti bahasa Inggris.
Pagi ini saya membaca artikel mengenai bahasa Lakota, bahasa Native American (http://rapidcityjournal.com/news/keeping-lakota-alive/article_6f03e808-59fb-11e1-bb1e-001871e3ce6c.html). Bahasa ini juga terancam punah. Bagaimana dengan bahasa Jawa? Kalau banyak penutur bahasa Jawa sudah tidak mau lagi menggunakan bahkan mengajarkan bahasa Jawa, ini akan menjadi bunuh diri bahasa (language suicide) seperti yang diungkapkan Beck dan Lam dari University of Alberta dalam makalahnya (http://www.ualberta.ca/~dbeck/Chambers.pdf). Tapi saya pikir bahasa Jawa akan masih mampu bertahan, mengingat banyaknya penutur asli yang tersebar di berbagai wilayah dan adanya upaya-upaya pemertahanan bahasa Jawa.
Oh ya, jangan tanyakan kenapa saya tidak menulis posting ini dalam bahasa Jawa, ya. Hahaha...
Selamat hari bahasa ibu. Sugeng dinten basa ibu.
Dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, ada juga sebutan yang menggunakan nama makanan. Untuk bahasa lain saya belum tahu. Nah kebalikan dengan bahasa Inggris, dalam bahasa Indonesia dan Jawa, penggunaan nama makanan itu kebanyakan untuk menyebut sesuatu yang buruk atau negatif. Contohnya, haram jadah. Jadah adalah makanan yang terbuat dari ketan, orang Jawa biasa menyebutnya gemblong. Haram jadah artinya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Contoh lain lagi, apem. Ini kue tradisional Jawa, tapi biasa digunakan untuk menyebut PSK (dodol apem, menjual diri). Ada lagi singkong. Anda pasti pernah mendengar ungkapan "anak singkong".
Yah, namanya juga lain ladang lain belalang...
There was Solo Batik Carnival in Semarang last April. I felt like I was in Brazil when I saw it hahah. It's good that Semarang holds cultural events since this city is kindof boring sometimes.
(photos by AhmedDee)
ada yang benci dirinya
ada yang butuh dirinya
ada yang suka diajar dia
ada pula yang bilang, betapa killer dirinya
ini hidup si pengajar para siswa
bekerja bertaruh seluruh jiwa raga
bibir senyum tapi kadang bisa galak juga
kepada setiap mahasiswa yg datang
dosakah yg dia kerjakan
sucikah yg dia lakukan
kadang dia tersenyum dalam tangis
kadang dia menangis di dalam senyuman
oh apa yg terjadi, terjadilah
yg dia mau muridnya pintar semua
oh apa yg terjadi, terjadilah
yg dia mau murid dapat A semua...
(otak-atik lagu Kupu-kupu Malam-nya Titiek Puspa)
Now that i become a teacher i know how hard it is to be one haha..
Kalau kriteria orang Jawa harus bisa berbahasa Jawa, kenapa saat ini banyak orang keturunan Jawa yang sudah tidak bisa berbahasa Jawa. Jangankan basa jawa krama, jawa ngoko pun ada yang tidak bisa. Banyak orang tua yang cenderung mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu kepada anaknya, kadang karena orang tuanya sendiri tidak bisa berbahasa Jawa. Bahasa Jawa diperoleh ketika berinteraksi dengan teman-teman di luar rumah. Bahasa krama pun tidak terlalu dikuasai karena dianggap sulit dan repot, maka ketika orang yang lebih muda berbicara kepada orang tua, mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia atau malah menggunakan jawa ngoko. Bahkan bahasa jawa dianggap feodal. Kalau tidak bisa menggunakan semua tingkat tutur bahasa Jawa itu, apakah seseorang sudah kehilangan kejawaannya?
Kalau ada orang Jawa yang kehilangan rasa, membiarkan dirinya dikendalikan nafsu dan pamrih, kasar, dalam filosofi Jawa orang itu dianggap "belum jawa" (durung jawa) (Magnis-Suseno, 1997:155). Sekarang banyak sekali orang Jawa yang memiliki sifat sebagaimana digambarkan demikian. Jadi apakah orang itu orang Jawa yang belum jawa, atau sudah kehilangan kejawaannya? Parahnya, kadang orang yang bukan keturunan suku Jawa malah lebih njawani daripada orang asli Jawa itu sendiri.
Menurut orang Jawa, terutama priyayi, memiliki istri lebih dari satu itu biasa. Wanita jawa seharusnya menurut pada suami jika suaminya ingin memiliki selir. Kalau Anda membaca novel Linus Suryadi yang berjudul Pengakuan Pariyem, wah lebih baik saya dianggap bukan perempuan Jawa kalau rela bernasib seperti Pariyem di novel itu (:p).
Mungkin orang Jawa yang paling jawa adalah pengikut saminisme. Mereka hanya mau berbahasa Jawa, walaupun bahasa Jawa ngoko, tapi itu malah menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang egaliter dan tidak membeda-bedakan sesama. Mereka juga antipoligami, karena berprinsip cukup satu suami/istri untuk selamanya.
Kalau Anda, masih jawa atau tidak?
Labels: Rambling