Banyak yang menganggap sekarang ini wong Jawa wis ilang jawane, orang Jawa sudah kehilangan kejawaannya. Atau mungkin definisi orang Jawa itu sendiri yang telah mengalami pergeseran seiring berjalannya waktu. Kalau menurut Frans Magnis-Suseno, yang dimaksud orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa (http://www.karatonsurakarta.com/orangjawa.html). Tentunya kalau membahas filosofi orang Jawa, what makes a javanese a javanese akan lebih luas lagi kriterianya.
Kalau kriteria orang Jawa harus bisa berbahasa Jawa, kenapa saat ini banyak orang keturunan Jawa yang sudah tidak bisa berbahasa Jawa. Jangankan basa jawa krama, jawa ngoko pun ada yang tidak bisa. Banyak orang tua yang cenderung mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu kepada anaknya, kadang karena orang tuanya sendiri tidak bisa berbahasa Jawa. Bahasa Jawa diperoleh ketika berinteraksi dengan teman-teman di luar rumah. Bahasa krama pun tidak terlalu dikuasai karena dianggap sulit dan repot, maka ketika orang yang lebih muda berbicara kepada orang tua, mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia atau malah menggunakan jawa ngoko. Bahkan bahasa jawa dianggap feodal. Kalau tidak bisa menggunakan semua tingkat tutur bahasa Jawa itu, apakah seseorang sudah kehilangan kejawaannya?
Kalau ada orang Jawa yang kehilangan rasa, membiarkan dirinya dikendalikan nafsu dan pamrih, kasar, dalam filosofi Jawa orang itu dianggap "belum jawa" (durung jawa) (Magnis-Suseno, 1997:155). Sekarang banyak sekali orang Jawa yang memiliki sifat sebagaimana digambarkan demikian. Jadi apakah orang itu orang Jawa yang belum jawa, atau sudah kehilangan kejawaannya? Parahnya, kadang orang yang bukan keturunan suku Jawa malah lebih njawani daripada orang asli Jawa itu sendiri.
Menurut orang Jawa, terutama priyayi, memiliki istri lebih dari satu itu biasa. Wanita jawa seharusnya menurut pada suami jika suaminya ingin memiliki selir. Kalau Anda membaca novel Linus Suryadi yang berjudul Pengakuan Pariyem, wah lebih baik saya dianggap bukan perempuan Jawa kalau rela bernasib seperti Pariyem di novel itu (:p).
Mungkin orang Jawa yang paling jawa adalah pengikut saminisme. Mereka hanya mau berbahasa Jawa, walaupun bahasa Jawa ngoko, tapi itu malah menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang egaliter dan tidak membeda-bedakan sesama. Mereka juga antipoligami, karena berprinsip cukup satu suami/istri untuk selamanya.
Kalau Anda, masih jawa atau tidak?
Kalau kriteria orang Jawa harus bisa berbahasa Jawa, kenapa saat ini banyak orang keturunan Jawa yang sudah tidak bisa berbahasa Jawa. Jangankan basa jawa krama, jawa ngoko pun ada yang tidak bisa. Banyak orang tua yang cenderung mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu kepada anaknya, kadang karena orang tuanya sendiri tidak bisa berbahasa Jawa. Bahasa Jawa diperoleh ketika berinteraksi dengan teman-teman di luar rumah. Bahasa krama pun tidak terlalu dikuasai karena dianggap sulit dan repot, maka ketika orang yang lebih muda berbicara kepada orang tua, mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia atau malah menggunakan jawa ngoko. Bahkan bahasa jawa dianggap feodal. Kalau tidak bisa menggunakan semua tingkat tutur bahasa Jawa itu, apakah seseorang sudah kehilangan kejawaannya?
Kalau ada orang Jawa yang kehilangan rasa, membiarkan dirinya dikendalikan nafsu dan pamrih, kasar, dalam filosofi Jawa orang itu dianggap "belum jawa" (durung jawa) (Magnis-Suseno, 1997:155). Sekarang banyak sekali orang Jawa yang memiliki sifat sebagaimana digambarkan demikian. Jadi apakah orang itu orang Jawa yang belum jawa, atau sudah kehilangan kejawaannya? Parahnya, kadang orang yang bukan keturunan suku Jawa malah lebih njawani daripada orang asli Jawa itu sendiri.
Menurut orang Jawa, terutama priyayi, memiliki istri lebih dari satu itu biasa. Wanita jawa seharusnya menurut pada suami jika suaminya ingin memiliki selir. Kalau Anda membaca novel Linus Suryadi yang berjudul Pengakuan Pariyem, wah lebih baik saya dianggap bukan perempuan Jawa kalau rela bernasib seperti Pariyem di novel itu (:p).
Mungkin orang Jawa yang paling jawa adalah pengikut saminisme. Mereka hanya mau berbahasa Jawa, walaupun bahasa Jawa ngoko, tapi itu malah menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang egaliter dan tidak membeda-bedakan sesama. Mereka juga antipoligami, karena berprinsip cukup satu suami/istri untuk selamanya.
Kalau Anda, masih jawa atau tidak?
Labels: Rambling
10 Comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wong muka sya ini jawa banget.
keren..keren blognya